Tanda'i Pe'e

MAKALAH HEMATOLOGI “THALASSEMIA“

BAB 1

PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang

Hematologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah dan komponen-komponennya. Hemoglobin adalah salah satu komponen penting dalam darah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen. Hematologi mempelajari struktur, fungsi, dan gangguan terkait hemoglobin. Studi hematologi melibatkan pemahaman tentang sintesis hemoglobin, peran hemoglobin dalam pengangkutan oksigen dan karbon dioksida, serta gangguan yang terjadi pada hemoglobin seperti thalassemia dan anemia sel sabit (Konturas, 2018).

Hemoglobin (disebut juga haemoglobin dalam bahasa Inggris) adalah protein kompleks yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit) dan berperan penting dalam mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh serta membawa karbon dioksida dari jaringan kembali ke paru-paru untuk dikeluarkan. Hemoglobin juga berfungsi sebagai buffer dalam menjaga pH darah agar tetap stabil (Borgna, 2008).

Struktur hemoglobin terdiri dari empat rantai polipeptida yang disebut globin. Pada manusia, terdapat dua jenis rantai globin yaitu rantai alfa (α) dan rantai beta (β). Setiap rantai globin terikat dengan gugus prostetik yang disebut heme. Setiap molekul heme mengandung atom besi yang berperan dalam mengikat oksigen (Colah R, 2018).

Ketika hemoglobin berada di paru-paru, molekul hemoglobin berinteraksi dengan oksigen dan membentuk oksihemoglobin, yang memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen. Ketika hemoglobin mencapai jaringan tubuh, oksihemoglobin melepaskan oksigen ke sel-sel jaringan dan membentuk deoksihemoglobin. Selain itu, hemoglobin juga dapat membawa sejumlah kecil karbon dioksida dan membentuk karbaminohemoglobin (Galanello, 2010).

Gangguan pada sintesis atau struktur hemoglobin dapat menyebabkan berbagai penyakit hematologi seperti thalassemia dan anemia sel sabit. Dalam kasus thalassemia, terjadi kelainan pada sintesis rantai globin hemoglobin, sedangkan pada anemia sel sabit, terjadi mutasi pada rantai beta hemoglobin yang menyebabkan sel darah merah berbentuk bulan sabit dan rentan terhadap kerusakan ( Musallam K.M., 2016 ).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Thalassemia

2. Klasifikasi Thalassemia berdasarkan kelainan

3. Gejala dan Diagnosis Thalassemia

4. Pencegahan dan Perawatan Thalassemia

C.  Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Thalassemia

2. Untuk Mengetahui Klasifikasi Thalassemia berdasarkan kelainan

3. Untuk Mengetahui Gejala dan Diangnosis Thalassemia

4. Untuk Mengetahui Pencegahan Dan Perawatan Thalassemia

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Thalassemia

Pengertian tentang thalassemia menurut para ahli dapat bervariasi. Berikut ini beberapa definisi tentang thalassemia dari beberapa sumber yang diakui:

1. Menurut World Health Organization (WHO):

Thalassemia adalah kelainan genetik yang ditandai oleh kekurangan atau ketidaknormalan dalam rantai globin dalam sintesis hemoglobin. Ini mengakibatkan produksi hemoglobin yang tidak memadai, menyebabkan anemia dan berbagai komplikasi terkait.

2. Menurut Orphanet, portal informasi penyakit langka di Eropa:

Thalassemia adalah kelainan genetik yang ditandai oleh gangguan dalam sintesis rantai globin dalam molekul hemoglobin. Ini menghasilkan produksi hemoglobin yang rendah atau tidak stabil, mengakibatkan anemia kronis dan manifestasi klinis yang bervariasi.

3. Menurut American Society of Hematology (ASH):

Thalassemia adalah kelompok gangguan genetik yang mempengaruhi produksi hemoglobin. Gangguan ini dapat mengakibatkan pengurangan jumlah atau ketidaknormalan dalam struktur rantai globin dalam hemoglobin, menyebabkan anemia berat dan berbagai komplikasi kesehatan.

4. Menurut United Thalassemia Foundation:

Thalassemia adalah kelainan darah yang diturunkan yang mempengaruhi produksi hemoglobin dalam sel darah merah. Ini terjadi karena adanya mutasi pada gen yang mengontrol sintesis rantai globin dalam hemoglobin, menghasilkan produksi hemoglobin yang tidak normal dan menyebabkan anemia dan gejala lainnya.

Meskipun pengertian thalassemia dapat bervariasi, intinya adalah bahwa thalassemia adalah kelainan genetik yang mempengaruhi sintesis hemoglobin, menghasilkan produksi hemoglobin yang tidak memadai dan menyebabkan anemia serta berbagai komplikasi terkait.

B. Klasifikasi Thalassemia Berdasarkan Kelainan

1. Klasifikasi Klinis Berdasarkan kelainan klinis, Thalasemia terbagi atas tiga pembagian utama yaitu : Thalasemia mayor, Thalasemia intermedia, dan Thalasemia minor. Kriteria utama untuk membagi 3 bagian itu berdasar atas gejala, tanda klinis, dan kebutuhan transfusi darah yang digunakan untuk terapi suportif pasien Thalasemia (Abdul, 1985).

a. Thalasemia mayor

Thalasemia mayor adalah adalah keadaan klinis Thalasemia yang paling berat. Kondisi Thalasemia mayor terjadi karena gen penyandi hemoglobin pada 2 alel kromosom mengalami kelainan. Pasien membutuhkan transfusi darah sejak tahun pertama pertumbuhan pada rentang usia 6-24 bulan dan kontinyu sampai seumur hidupnya (Arjatmo, 1992).

Rutinitas transfusi Thalasemia mayor berkisar antara 2 minggu sekali sampai 4 minggu sekali. Gejala Thalasemia mayor secara umum muncul pada usia 7 bulan awal pertumbuhan bayi atau setidaknya pada bawah tiga tahun (batita). Gejala awal adalah keadaan pucat pada kulitnya terlihat pada bagian telapak tangan, mata bagian kelopak mata sebelah dalam, daerah perut, dan semua permukaan kulit. Lambat laun bayi akan terlihat lebih lemas, tidak begitu aktif, dan tidak bergairah menyusu. Bayi akan mengalami kegagalan untuk berkembang secara normal dan menjadi semakin pucat (Atul, 1996).

Beberapa masalah seperti diare, lemah, serangan demam berulang, dan pembesaran perut progresif yang disebabkan oleh pembesaran limpa dan hati dapat menjadi alasan pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan. Dibeberapa negara berkembang, disebabkan kurangnya sumber daya yang ada, gambaran klinis Talasemia ditandai dengan keterlambatan pertumbuhan, pucat, ikterus, hipotrofi otot, genu valgum, hepatosplenomegali, ulkus kaki, dan perubahan tulang yang disebabkan oleh perluasan sumsum tulang. Tulang rangka akan mengalami perubahan struktur terutama pada tulang panjang, perubahan khas daerah kraniofasial, dahi yang menonjol, depresi dari jembatan hidung, kecenderungan untuk kenampakan mata mongoloid, dan hipertrofi maxillae yang cenderung mengekspos gigi atas (tonggos). Gangguan pertumbuhan dan malnutrisi sering dialami oleh pasien Talasemia mayor. Secara umum berat badan dan tinggi badan menurut umur berada dibawah persentil ke-50, dengan frekuensi gizi kurang dan buruk mencapai 64,1% dan 13, 2 %.

Penyebab gangguan pertumbuhan belum jelas diketahui dan masih kontroversial, namun data terkini menunjukkan terjadinya gangguan fungsi hypothalamicpituitary gonad yang menyebabkan gangguan sintesa somatomedin, hipoksia jaringan oleh karena anemia, maupun efek yang berhubungan dengan pemberian deferoksamin. Pada tahap ini transfusi darah harus mulai masuk untuk menghindari keadaan klinis yang lebih berat. Gambaran di atas adalah keadaan anak yang tidak menjalani transfusi, atau menjalani transfusi akan tetapi tidak rutin. Individu atau anak yang menjalani transfusi darah secara rutin dan mengkonsumsi obat kelasi besi secara teratur sejak dini dapat mengurangi gejala dan tanda tersebut di atas, serta menampakkan pertumbuhan dan perkembangan yang baik (Dewi. A, 2005).

Komplikasi merupakan penyebab kematian para pasien Thalasemia mayor. Sistem organ yang paling sering menyebabkan gangguan berturut-turut adalah organ endokrin meliputi gangguan pertumbuhan akibat supresi growth hormon, pubertas terlambat dan hipogonadism, gangguan fertilitas, Diabetes Melitus (DM), sampai dislipidemia (Djelantik, 1996).

Penyebab kematian paling tinggi pada pasien Thalasemia adalah gangguan jantung termasuk didalamnya adalah kardiomiopati. Tercatat bahwa 70% kematian pasien Talasemia disebabkan karena defek pada otot dan gangguan irama jantung, heart dysfunction, aritmia, atau gabungan keduanya. Komplikasi organ lain seperti gangguan sistem skeletal, gangguan syaraf, gangguan epidermis, dan gangguan gastrointestinal menempati kelainan yang tidak terlalu dianggap berbahaya. Kelainan DM merupakan bagian komplikasi Thalasemia lainnya yang mempunyai morbiditas dan mortalitas paling tinggi diantara 67 hendaya endokrin lainnya. Penyebab utama terjadinya kelainan

DM pada pasien Thalasemia adalah efek samping dari kegiatan transfusi rutin. Deposit iron setiap transfusi dapat memasukin komponen besi ke dalam tubuh 250 ng pada setiap periode. Penumpukan besi terus menerus dan ketidakmampuan tubuh untuk membuang besi menjadi faktor utama iron overload dalam pasien Thalasemia. Kelasi besi rutin adalah satusatunya usaha aktif untuk mengekskresikan besi dalam tubuh pasien. Administrasi Deferoksamin, Deferipron, dan Deferasirox; jenis kelator yang tersedia; menjadi kebutuhan wajib pasien Thalasemia. Ketidakpatuhan konsumsi obat ini menjadikan banyak pasien Thalasemia jatuh pada kondisi iron overload yang berat. Penumpukan besi berlebih akan didistribusikan pada semua organ, salah satunya sistem endokrin. Pankreas, sebagai salah satu organ endokrin penting dalam tubuh menjadi target deposit besi dengan akibat terganggunya sistem homeostatis dan biosintesis insulin pada pulau-pulau langerhans (Elizabeth, 1994).

b. Thalasemia Intermedia

Sama seperti halnya Thalasemia mayor, individu dengan Thalasemia intermedia terjadi akibat kelainan pada 2 kromosom yang menurun dari ayah dan ibunya. Perbedaan ada pada jenis gen mutan yang menurun. Individu Thalasemia mayor menurun 2 gen mutan bertipe mutan berat, sedangkan pada Thalasemia intermedia 2 gen tersebut merupakan kombinasi mutan berat dan ringan, atau mutan ringan dan mutan ringan. Kenampakan klinis dari Thalasemia intermedia tidak se awal Thalasemia mayor. Diagnosis awal bisa terjadi pada usia belasan tahun, atau bahkan pada usia dewasa. Secara klinis Thalasemia intermedia menunjukkan gejala dan tanda yang sama dengan Thalasemia mayor, namun lebih ringan dari gambaran Thalasemia mayor. Pasien intermedia tidak rutin dalam memenuhi transfusi darah nya, terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan sekali atau bahkan 1 tahun sekali. Namun pada keadaan tertentu, keadaan intermedia dapat jatuh ke keadaan mayor jika tubuh mengeluarkan darah yang cukup banyak, atau tubuh memerlukan metabolisme yang tinggi seperti keadaan infeksi yang menahun, kanker atau keadaan klinis lain yang melemahkan 8 sistem fisiologis hematologi atau sistem darah. Pasien Thalasemia intermedia ini dapat cenderung menjadi mayor ketika anemia kronis tidak tertangani dengan baik dan sudah menyebabkan gangguan organorgan seperti hati, ginjal, pankreas, dan limpa (Geni. DKK, 2004).

c. Thalasemia minor

Thalasemia minor bisa juga disebut sebagai pembawa sifat, traits, pembawa mutan, atau karier Thalasemia. Karier Thalasemia tidak menunjukan gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini bisa dipahami karena abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan salah satu dari dua kromosom yang dikandungnya, bisa dari ayah atau dari ibu. Satu gen yang normal masih mampu memberikan kontribusi untuk proses sistem hematopoiesis yang cukup baik. Beberapa penelitian bahkan menyebut bahwa diantara pendonor darah rutin pada unit-unit transfusi darah adalah karier Talasemia (Iyan. D, 1996).

2. Klasifikasi Genetik

Thalasemia dibagi menjadi talasemia alfa (α) dan beta (β). Thalasemia α terjadi karena akibat kurangnya (defisiensi parsial) atau tidak di produksi sama sekali (defisiensi total) produksi rantai globin α, sedangkan talasemia β terjadi akibat berkurangnya rantai globin β atau tidak diproduksi sama sekali rantai globin β (Nelson, 1996).

a. Thalasemia Alfa (α)

Pada talasemia alfa, terjadi penurunan sintesis dari rantai alfa globulin. Dan kelainan ini berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat dari kurangnya sintesis rantai alfa, maka akan banyak terdapat rantai beta dan gamma yang tidak berpasangan dengan rantai alfa. Maka dapat terbentuk tetramer dari rantai beta yang disebut HbH dan tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts. Talasemia alfa sendiri memiliki beberapa jenis :

i. Delesi pada empat rantai alfa Dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts. Gejalanya dapat berupa ikterus, pembesaran hepar dan limpa, dan janin yang sangat anemis. Biasanya, bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah kelahirannya atau dapat juga janin mati dalam kandungan pada minggu ke 36-40. Bila dilakukan pemeriksaan seperti dengan elektroforesis di dapatkan kadar Hb adalah 80-90% Hb Barts, tidak ada HbA maupun HbF (Higgs, 2018).

ii. Delesi pada tiga rantai alfa Dikenal juga sebagai HbH disease biasa disertai dengan anemia hipokromik mikrositer. Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Jika dilakukan pemeriksaan mikroskopis dapat dijumpai adanya Heinz Bodies (Yusoff, 2013)

iii. Delesi pada dua rantai alfa Juga dijumpai adanya anemia hipokromik mikrositer yang ringan. Terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH (Thein, 2012).

iv. Delesi pada satu rantai alfa Disebut sebagai silent carrier karena tiga lokus globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal (Schrier, 2008).

b. Thalasemia Beta (β)

Disebabkan karena penurunan sintesis rantai beta. Dapat dibagi berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu talasemia mayor, intermedia, dan karier. Pada kasus talasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi (Weatherall, 2008). Mungkin saja pada awal kelahirannya, anak-anak talasemia mayor tampak normal tetapi penderita akan mengalami anemia berat mulai usia 3-18 bulan. Jika tidak diobati, bentuk tulang wajah berubah dan warna kulit menjadi hitam (Orkin, 1987).

Selama hidupnya penderita akan tergantung pada transfusi darah. Ini dapat berakibat fatal, karena efek sampingan transfusi darah terus menerus yang berupa kelebihan zat besi (Fe). Salah satu ciri fisik dari penderita talasemia adalah kelainan tulang yang berupa tulang pipi masuk ke dalam dan batang hidung menonjol (disebut gacies cooley), penonjolan dahi dan jarak kedua mata menjadi lebih jauh, serta tulang menjadi lemah dan keropos (Sarwono, 2001).

C. Gejala dan Diagnosis Thalassemia

Thalassemia adalah kelompok penyakit genetik yang ditandai oleh kelainan pada produksi hemoglobin, protein yang membawa oksigen dalam sel darah merah (Rambe A.S, 2019). Gejala thalassemia dapat bervariasi, mulai dari gejala ringan hingga gejala yang parah tergantung pada jenis dan tingkat keparahan thalassemia. Berikut adalah penjelasan tentang gejala dan diagnosis thalassemia secara lengkap:

1. Gejala Thalassemia:

* Anemia: Gejala utama thalassemia adalah anemia, yang ditandai dengan kelelahan, kelemahan, pucat, napas pendek, dan denyut jantung yang cepat.

* Pertumbuhan terhambat: Pada anak-anak dengan thalassemia berat, pertumbuhan fisik dapat terhambat.

* Pembesaran organ: Thalassemia dapat menyebabkan pembesaran limpa dan hati pada beberapa kasus.

* Gangguan tulang: Thalassemia berat dapat menyebabkan kerapuhan tulang dan risiko tinggi terhadap fraktur.

* Gangguan jantung: Pada kasus thalassemia berat, dapat terjadi komplikasi jantung seperti gagal jantung, pembesaran jantung, dan aritmia ( Cao A, 2013).

2. Diagnosis Thalassemia:

* Tes Darah: Tes darah lengkap dilakukan untuk mengukur jumlah dan jenis sel darah merah serta mengidentifikasi adanya anemia.

* Elektroforesis Hemoglobin: Tes ini digunakan untuk memisahkan jenis-jenis hemoglobin dalam darah dan mendeteksi adanya kelainan pada hemoglobin.

* Analisis DNA: Analisis DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi mutasi atau kelainan genetik yang terkait dengan thalassemia.

* Pemeriksaan radiologi: Pemeriksaan seperti sinar-X tulang atau MRI bisa dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan kerusakan tulang atau pembesaran organ ( Taher, 2018).

D. Pencegahan dan Perawatan Thalassemia

1. Pencegahan Thalassemia

Tubuh Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan dua tahap strategi dalam pencegahan thalassemia. Tahap pertama melibatkan pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang mempunyai risiko tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak dengan penyakit thalassemia. Tahap kedua melibatkan penyaringan penduduk untuk mengenal pasti pembawa dan memberi penjelasan kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan diagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang mengidap thalassemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang mengidap thalassemia (Rusepno, 1985).

2. Perawatan Thalassemia

Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia. Transfusi darah diberikan bila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah.

Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu desferal secara intramuskular atau intravena. Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum didapatkan tanda hipersplenisme atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah tampak, maka splenektomi tidak banyak gunanya lagi,. Sesudah splenektomi, frekuensi transfusi darah biasanya menjadi lebih jarang. Diberikan pula bermacam- macam vitamin, tetapi preparat yang mengandung besi merupakan indikasi kontra (Rusepno, 1985).

Dilaboratorium klinik, kadar hemoglobin dapat ditentukan dengan berbagai cara : diantaranya dengan cara kolorimetrik seperti cara sianmethemoglobin (HiCN) dan dengan cara oksihemoglobin (HbO2).

International committee for standardization in Haematology (ICSH) menganjurkann pemeriksaan kadar hemoglobin cara sianmethemoglobin. Cara ini mudah dilakukan, mempunyai standar yang stabil dan dapat mengukur semua jenis hemoglobin kecuali sulfhemoglobin. Metoda sahli yang berdasarkan pembentukan hematin asam tidak dianjurkan lagi, karena mempunyai kesalahan yang sangat besar, alat tidak dapat distandardisasi dan tidak semua jenis hemoglobin diubah menjadi hematin asam, seperti karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin.

a. Temuan Laboratorium

Kelainan morfologi erotrosit pada penderita thalassemia beta homozigot yang tidak di transfusi adalah eksterm di samping hipokronia dan mikrositosis berat., banyak ditemukan poikilosit yang terfrakmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intra eritrositik, yang merupakan presipitasi dari kelebihan rantai alfa, juga dapat terlihat paska splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dl kecuali jika transfusi di berikan. Kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipirol menyebabkan urin berwarna coklat gelap terutama paska splenektomi.

b. Terapi

Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl. Regimen hiper transfusi ini mempunyai keuntungan klinis yang nyata memungkinkan aktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang- tulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis. Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya di perlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah alloimunisasi dan mencehag reaksi transfusi. Lebih baik di gunakan PRC yang relatif segar (kurang dari 1 minggu dalam antikoagulan CPD) walaupun dengan ke hati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat di minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum transfusi (Muncie, 2009).

Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang, yang tidak dapat di hindari karena setiap 500 ml darah membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat di ekskresikan secara fisiologis. Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan dalam kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat di turunkan atau bahkan di cegah dengan pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating drugs) deferoksamin, yang membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang di pertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan dalam jangka 8- 12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6 malam/minggu penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum kurang dari 1000 ng/mL yang benar-benar di bawah nilai toksik. Komplikasi mematikan siderosis jantung dan hati dengan demikian dapat di cegah atau secara nyata tertunda. Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif serupa dengan deferoksamin. Karena kekhawatiran terhadap kemungkinan toksisitas (agranulositosis, artritis, artralgia) obat tersebut kini tidak tersedia di Amerika Serikat.

Terapi hipertransfusi mencegah splenomegali masif yang di sebabkan oleh eritropoesis ekstra medular. Namun splenektomi akhirnya di perlukan karena ukuran organ tersebut atau karena hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk mempertimbangkan

splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan (Rahayu I.Y., 2020).

Cangkok sumsum tulang ( CST) adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima transfusi sangat banyak. Namun, prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan mortalitas dan biasanya hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung yang sehat (yang tidak terkena) yang histokompatibel (Lucarelli, 2002).

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Thalassemia adalah kelompok penyakit genetik yang ditandai oleh kelainan pada produksi hemoglobin, protein yang berperan dalam mengangkut oksigen dalam sel darah merah. Terdapat dua jenis utama thalassemia, yaitu thalassemia alfa dan thalassemia beta, dengan tingkat keparahan gejala yang bervariasi. Thalassemia dapat menyebabkan anemia, pertumbuhan terhambat, pembesaran organ, dan komplikasi lainnya tergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit.

B. Saran

1.   Konsultasikan dengan dokter: Jika Anda atau anggota keluarga Anda memiliki gejala yang mencurigakan atau memiliki riwayat keluarga dengan thalassemia, disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter untuk evaluasi dan diagnosis yang tepat.

2. Tes pemantauan: Jika Anda telah didiagnosis dengan thalassemia, penting untuk menjalani tes pemantauan secara teratur, termasuk tes darah lengkap, elektroforesis hemoglobin, dan pemeriksaan lainnya sesuai petunjuk dokter.

3. Perencanaan keluarga: Jika Anda atau pasangan Anda adalah pembawa gen thalassemia, konsultasikan dengan konselor genetika untuk mendapatkan informasi tentang risiko dan opsi perencanaan keluarga yang tersedia.

4.   Perawatan medis dan dukungan: Jika Anda atau anggota keluarga Anda mengalami thalassemia berat, pastikan untuk mengikuti perawatan medis yang direkomendasikan oleh tim medis yang berpengalaman dalam mengelola kasus thalassemia. Dukungan sosial dan psikologis juga penting untuk membantu menghadapi tantangan yang mungkin timbul.

5.     Edukasi dan kesadaran: Tingkatkan pemahaman dan kesadaran tentang thalassemia di masyarakat, termasuk pengetahuan tentang risiko dan cara mencegah penyebaran gen thalassemia melalui program edukasi dan kampanye kesadaran.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Dkk. (1985). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Arjatmo, T. (1992). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Sederhana, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Atul, B. (1996). Hematologi Klinik Uji Keterampilan diagnostik, Jakarta : Widya Medika

Borgna-Pignatti C., et al. (2008). “Understanding hemoglobinopathies: the role of the laboratory Vol 46”,  New York : Clinical Chemistry and Laboratory Medicine

Colah R., et al. (2018). “Hemoglobinopathies and their management in India: a review”. Indian Journal of Medical Research

Cao A., et al. (2013). “Diagnosis and management of thalassemia”. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine

Dewi, A. (2005). Hematologi, Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Djelantik, I.B (1996). Lekemia, Panduan Praktikum Dan 500 Soal Jawab Hematologi, Jakarta : Widya Medika

Elizabeth, G. (1994). Diagnosis Pranatal Talasemia Di Malaysia, Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia

Ganie, Dkk. (2004). Kajian DNA Thalassemia di Medan, Medan : USU Press Iyan, D. (1996). Haematologi, Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Galanello R., et al. (2010). "Advances in the understanding and management of thalassemia". Jurnal: Hematology. American Society of Hematology. Education Program

Higgs D.R., et al. (2012). "Molecular basis and clinical manifestation of α-thalassemia". Jurnal: Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine

Kountouras D., et al. (2018). "Hematological aspects of thalassemia: a comprehensive review". Journal of Advanced Research

Lucarelli, G., Gaziev, J., & Isgrò, A. (2002). Allogeneic Cellular Gene Therapy for Hemoglobinopath

Musallam K.M., et al. (2016). "Hematological manifestations and complications of thalassemia". Jurnal: Annals of the New York Academy of Sciences

Muncie, H.L., & Campbell, J. (2009). Alpha and Beta Thalassemia. American Family Physician.

Nelson, (1996). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : UI

Orkin S.H., et al. (1987). "Beta-thalassemia: a model for elucidating the molecular basis of human genetic diseases". Journal of Clinical Investigation.

Rambe A.S., et al. (2019). "Kualitas Hidup dan Faktor yang Mempengaruhi pada Pasien Thalassemia di Indonesia", Bandung : Unpad Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat

Rahayu I.Y., et al. (2020). "Persepsi dan Pengetahuan Masyarakat tentang Thalassemia". Jakarta : Kesmas National Public Health Journal

Sarwono, Dkk. (2001). Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Schrier S.L. (2008).  "Delta-beta thalassemia: molecular basis and laboratory diagnosis". Jurnal: Blood Reviews

Taher A.T., et al. (2019). "Hematological characteristics and management of thalassemia: a review". urnal: Hematology/Oncology and Stem Cell Therapy

Thein S.L. (2013). "Genetics and molecular pathogenesis of beta-thalassemia". Jurnal: Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine

Vichinsky E. (2011). "Management of Thalassemia: A Comprehensive Review". Jurnal: Clinical Advances in Hematology & Oncology

 

Admin IMIKB Gorontalo
452 0

0 Komentar

Tinggalkan Sebuah Komentar

View : 159065

Follow Us

Kontak Kami

Jalan Dewi Sartika, Kota Gorontalo

085340548515

admin@imikbanggai-go.com

Follow Us
Flicker Photos

© Ikatan Mahasiswa Indonesia Kabupaten Banggai di Gorontalo.